Pengaruh Agama Dalam Sistem Pemerintahan Negara

Opini2,688 views

PUBLIKNEWS.COM – Sebuah pemerintahan merupakan kebutuhan yang mendasar bagi kehidupan individu dan masyarakat dalam mengatur berbagai persoalan kehidupan manusia. Dalam artian manusia secara sosial tidak dapat hidup sendiri, akan tetapi selalu membutuhkan manusia lain dalam kehidupannya.

Oleh karena itu, agar dalam kehidupannya dapat berjalan dengan teratur maka manusia membutuhkan sebuah pemerintahan untuk menciptakan keteraturan hidup ke dalam sebuah negera. Negara kemudian menjadi sebuah wadah untuk mencapai kesejahteraan.

Hubungan agama dan negara, suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang, sebaliknya, negara juga memerlukan agama karena dengan agama dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral spiritual. Sintesis politik dan Islam, penantian yang paling mendasar dari pemerintahan religius dan tugas yang paling besar dari pemerintahan ini adalah pelaksanaan undang-undang Ilahi.

Tugas khusus dari pemerintahan religius, di mana hal ini tidak bisa dilakukan oleh pemerintahan nonreligius adalah hal tersebut. Undang-undang yang ada dalam pemerintahan nonreligius adalah undang-undang insani (hasil kesepakatan manusia), dimana dalam pemerintahan religius undang-undang itu merupakan sesuatu yang suprainsani dan Ilahi.

Wilayatul al faqih sebagai sistem politik dan pemerintahan, doktrin wilayat al-faqih merupakan poros sentral dari pemikiran politik Syi’ah kontemporer. Wilayah al-faqih merupakan personifikasi kekuasaan Negara dalam sistem teokrasi Iran. Wilayah al-faqih pada dasarnya mirip dengan kekuasaan para Paus di Roma. Doktrin ini mengadopsi sebuah sistem politik yang berbasiskan perwalian, yang bersandar pada seorang faqih yang adil dan kapabel untuk memegang pemimpin pemerintahan selama gaibnya Imam yang maksum. Akan tetapi, meskipun perwalian dari seorang ulama agung diakui secara universal diantara semua teori-teori pemerintahan Syi’ah, terjadi ketidaksepakatan pada detail-detailnya, seperti besarnya peranan faqih dan luas cakupan otoritasnya.

Islam (Syiah) sebagai gerakan politik, pada mulanya untuk sebuah kurun waktu yang cukup lama, gerakan Syi’ah dapat dikatakan hanya sebagai gerakan protes politik saja, tetapi kemudian, paham ini membentuk teologi dan sistem agama, sosial dan politik. Dalam hubungan dengan sejarah modern, munculnya kelompok Syi’ah yang cukup signifikan dan menentukan, baru terjadi ketika Dinasti Safawi (1502-1723 M) naik menjadi penguasa di Persia, dan menjadikan madzhab Syi’ah sebagai agama resmi negara.

Kemudian para pemuka kelompok Syi’ah berhasil mendapatkan eksistensi yang berdiri sendiri, sehingga mereka dapat memainkan peranan yang cukup penting dalam negara.Terlepas dari itu, dari kepemimpinan khusus Imam Khomeini R.a yang berada pada puncak proses politik ini, terdapat unsur-unsur politik lainnya dari kaum mullah yang turut memainkan peran yang luas.

Selepas kemenangan Revolusi Islam dan terbentuknya pemerintahan Islam, peran para mullah sangat berpengaruh dalam memajukan dan mengawal pemerintahan Islam. Mengingat pemerintahan Iran adalah pemerintahan Islam maka terdapat dua faktor penting dalam pemerintahan ini. Pertama berbentuk republik dan kedua bercirikan Islam.

Di abad pertengahan, pemerintahan di Eropa didominasi oleh bentuk monarkhi yang teokratik. Raja yang memerintah pada dasarnya hanyalah pelaksana kebijakan Paus sebagai penguasa tertinggi keagamaan (Khatolik Roma). Di era itu dikenal dalam sejarah sebagai Abad Kegelapan. Abad kegelapan yang menyelimuti Eropa diwarnai oleh kekuasaan pemuka agama (Paus) atas kehidupan bernegara. Paus sebagai pemimpin tertinggi agama Nasrani, berperan kuat bahkan lebih berkuasa dari raja khususnya dalam menentukan kebijakan negara.

Paus adalah pemegang otoritas tunggal dalam memaknai isi kitab suci sementara Raja kedudukannya tidak lebih sebagai pelekasanaan fatwa paus. Muncul dan berkembangnya aliran protestan di eropa abad pertengahan adalah bentuk manifestasi kegelisahan akibat krisi nilai atas prilaku paus sebagai pemimpin tertinggi agama katolik yang berkedudukan di roma yang dinilai jauh menyimpang dari nilai-nilai luhur agama.

Terkait dengan para mullah dalam kemenangan revolusi islam menyakini bahwa pada masa revolusi islam dan pada masa yang berkelanjutan antara tahun 1341 sampai 1357 S (1963-1979 M) para mullah secra perlahan memasuki medan, sebagaian mereka perjuangan. Terdapat juga beberapa orang yang mengikuti mereka terjun ke dalan medan perjuangan. Dan pada tahun 1357 (1997) kebanyakan masjid-mesjid berubah menjadi basecamp dan pangkalan perjuangan dan perlawanan.

Pasca kemenangan Revolusi Islam tugas para mullah semakin berlipat ganda karena pasca kemenangan Revolusi Islam mereka mengemban tugas untuk memajukan dan berupaya maksimal mengantarkan pemerintahan Islam meraih cita-cita ideal masyarakat Islam. Untuk mendirikan sebuah pemerintahan Islam maka pertama-tama aturan-aturan Islam harus diratifikasi dan kemudian diimpelementasikan dengan menggunakan metode yang terbaik. Jelas bahwa untuk meratifikasi konstitusi Islam, diperlukan para pakar dan ahli yang mengetahui dengan baik hukum hukum agama dan setiap dimensi agama sehingga mampu meratifikasi undang-undang dan konstitusi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Secara umum, para ulama Syi’ah tersebut sepakat bahwa otoritas untuk mengatur dan membimbing umat Islam, baik masalah spiritual maupun dunia, diberikan sepenuhnya kepada faqih yang sudah memenuhi kualifikasi selama Imam Zaman masih ghaib, sehingga keadaan umat menjadi aman, tentram, sejahtera dan penuh dengan keadilan. Ada beberapa istilah yang dilekatkan pada para faqih berdasarkan peran dan kedudukannya dalam konsep Wilayat al-Faqih, dalam artian tentang kedudukan marja’iyah dan mujtahid, dan tentang jangkauan kewenangan itu di luar batas geografis sebuah masyarakat yang secara struktural berada di dalam sistem Wilayah Faqih, tentang pola hubungannya yang bersifat struktural instculnya kelompok Syi’ah yang cukup signifikan dan menentukan, baru terjadi ketika Dinasti Safawi (1502-1723 M) naik menjadi penguasa di Persia, dan menjadikan madzhab Syi’ah sebagai agama resmi negara. Kemudian para pemuka kelompok Syi’ah berhasil mendapatkan eksistensi yang berdiri sendiri, sehingga mereka dapat memainkan peranan yang cukup penting dalam negara.

Di abad modern, banyak dijumpai pertikaian, penindasan dan pembantaian berlatar belakang agama yang diakibatkan oleh keyakinan bahwa semuanya dilakukan sebagai bagian dari misi suci agama yang dianut. Beberapa Negara lain di dunia yang kental dengan ajaran agamanya semisal negera Arab Saudi yang mayoritas adalah Islam (sunni) yang menekankan islam kembali ke ajaran yang fundamentalis dan mengutuk banyak kegiatan keagamaan yang menyimpang. Gerakan Muhammas bin Abd al-Wahhab ini dikenal sebagai Mazhab Wahabbi. Jadi ajaran wahabbi ini sangat berpengaruh di dalam kehidupan bangsa dan Negara Arab Saudi pada umumnya. Negara ini menganut system pemerintahan yang kerajaan (monarki) dimana kekuasaan tertinggi dipegang oleh seorang raja yang bersal dari keturunan keluarga Ibnu Saud. Negara lain semisal Vatikan, yang masih merupakan areal komunitas Roma, merupakan negara kecil dimana pendirianya semata-mata untuk kepentingan eksistensi agama Khatolik, di mana Paus sebagai kepala negara yang mempunyai kekuasaan penuh dalam eksekutif dan legislatif, sedangkan pelaksanaan pemerintahan dilakukan oleh komisi Kardinal atas pengangkatan Paus.

Berdasarakan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa agama memilki andil besar dalam membentuk system pemerintahan Negara. Demikian, penulis tertarik untuk melihat pengaruh agama dalam sistem pemerintahan negara dengan mengemukakan judul Pengaruh Agama dalam Sistem pemerintahan Negara.

Penulis: Intan Rizkiah
Editor: Koko Haryadi

[ays_poll id=1]

Lihat Berita dan Artikel Terbaru Publik News Lainnya di Google News


Redaksi Publik News menerima kiriman berita, rilis pers dan opini. Kirim ke: mediapubliknewscom@gmail.com atau WhatsApp: 0852 7213 4500

Komentar